Saat ini saya mengonsumsi obat asma ‘teosal’. Saya meminumnya hanya malam hari menjelang saya tidur. Tetapi ketika saya meminum obat terus badan saya terasa lemas dan gemetar. Dokter apakah obat yang saya minum mempunyai efek samping yang besar terhadap tubuh saya? Jika memungkinkan obat asma apa saja yang harus saya minum selain teosal? Terimakasih.
Hanna (Wanita lajang, 20 tahun)
hannaXXXXX@ymail.com
Tinggi badan 166 cm, berat badan 60 kg
Jawaban
Dear Hanna, terimakasih atas kepercayaannya kepada kami.
Sebelum menuju pembahasan tentang obat-obatan anti-asma, maka ada baiknya kita mengetahui apakah asma itu. Asma adalah penyakit radang (inflammatory disease) saluran pernafasan yang memiliki karakteristik adanya episode bronkokonstriksi akut yang menyebabkan memendeknya nafas (terengah-engah), batuk, dada merasa terikat/sesak, mengi (wheezing), dan pola pernafasan yang cepat.
Di Amerika Serikat, hampir 20 juta individu yang didiagnosis asma dan sekitar separuhnya adalah anak-anak. Biaya tahunan akibat asma yang harus ditanggung oleh sistem healthcare di USA pada tahun 1990 diperkirakan U$ 6,2 miyar. Di tahun 2000, angka ini menjadi dua kali lipat.
Salah satu obat asma yang dijual di apotek adalah teosal. Teosal sebenarnya tergolong obat keras karena memiliki tanda khusus pada kemasan dengan etiket huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Jadi, memang tidak boleh sembarangan dikonsumsi.
Kandungannya adalah salbutamol dan theophylline anhydrate. Theophylline adalah salah satu contoh obat golongan methylxanthines. Gunanya untuk melebarkan bronkus atau cabang tenggorok (bronkodilator) pada penderita asma bronkial dan bronkitis kronis.
Bila dikonsumsi berlebihan, teosal memang dapat menyebabkan otot-otot skelet tremor (gemetar, bergetar), palpitasi (berkeringat dingin), takikardi (denyut/detak jantung menjadi lebih cepat), mual, muntah, dan sakit kepala. Pada anak-anak, teosal berpotensi menyebabkan hematemesis (muntah darah), merangsang susunan saraf pusat, demam, dan diaforesis (keluar keringat yang berlebihan).
Dengan efek samping yang relatif “menakutkan”, maka dokter akan berhati-hati bila meresepkan teosal, terutama pada:
1. wanita yang sedang hamil dan menyusui,
2. penderita penyakit/gangguan jantung,
3. penderita penyakit paru-paru kronis (menahun)
4. penderita hipertensi (tekanan darah tinggi) yang berat,
5. penderita penyakit/gangguan hati,
6. penderita epilepsi,
7. anak-anak, terutama yang berusia kurang dari 6 tahun,
8.penderita pria lanjut usia, atau berusia lebih dari atas 55 tahun
Secara umum, tujuan terapi penderita asma adalah:
1. mencegah gejala-gejala yang ada menjadi kronis (menahun), menyusahkan, dan mengganggu.
2. mempertahankan fungsi paru-paru yang normal.
3. mampu menjalankan aktivitas seperti biasa, seperti: berolahraga, melakukan aktivitas fisik, bekerja, atau bersekolah.
4. memenuhi harapan penderita dan keluarga dengan pelayanan yang berkualitas.
5. mencegah kambuhnya atau berulangnya (serangan) asma; pada anak-anak mencegah berkurangnya pertumbuhan paru-paru.
6. menyediakan farmakoterapi yang optimal dengan efek samping yang minimal (bila perlu tidak ada efek samping)
Beberapa pilihan obat asma lainnya yang biasa direkomendasikan oleh dokter adalah:
1. Golongan agonis adrenergik beta 2, misalnya:
a. pirbuterol
b. terbutalin
c. albuterol
Ketiga obat di atas bekerja dengan cepat, yaitu 5-30 menit, mampu meredakan asma di dalam jangka waktu 4-6 jam.
Efek samping obat-obat golongan ini adalah takikardi (denyut jantung bertambah cepat), hiperglikemia (kadar gula/glukosa di dalam darah meningkat), hipokalemia (kadar kalium di dalam darah menurun), hipomagnesemia (magnesium di dalam darah menurun).
Sedangkan yang memiliki efek jangka panjang adalah
d. salmeterol
e. formoterol
Keduanya memiliki aksi jangka panjang (long duration of action), mampu melebarkan bronkus setidaknya dalam waktu 12 jam. Keduanya memiliki onset aksi yang lambat dan tidak dapat digunakan untuk meredakan serangan asma akut dalam waktu singkat. Efek sampingnya sama dengan obat golongan agonis adrenergik beta 2 yang berefek jangka pendek.
2. Golongan kortikosteroid, misalnya: beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, methylprednisone, prednisolone, prednisone, triamcinolone.
Kortikosteroid yang dihirup (inhaled corticosteroids, ICS) adalah obat-obat pilihan pertama untuk penderita asma persisten (menetap) derajat apapun. Asma persisten yang berat memerlukan penambahan terapi glukokortikoid oral jangka pendek. Tak ada obat yang seefektif ICS di dalam pengendalian asma jangka panjang pada anak-anak maupun dewasa. Bila dipakai dan diresepkan dokter secara benar dan tepat, maka terapi ICS dapat mengurangi atau menghilangkan keperluan akan glukokortikosteroid oral pada penderita dengan asma berat. Agar efektif di dalam pengendalian inflamasi (peradangan), glukokortikosteroid haruslah diminum secara berkesinambungan, sesuai rekomendasi dokter. Penderita asma berat yang memburuk (exacerbation) atau disebut juga dengan istilah status asmatikus memerlukan pemberian metilprednisolon intravena atau prednison oral.
Efek samping kortikosteroid adalah batuk, jamur di mulut (oral candidiasis). Efek sistemik yang meliputi: gangguan pertumbuhan (growth suppression), penekanan adrenal, keropos tulang (osteoporosis).
3. Kromolin, nedocromil
Kromolin dan nedocromil adalah agen pencegah antiradang yang efektif (effective prophylactic anti-inflammatory agents). Namun tidak bermanfaat pada kasus serangan asma akut, karena bukan direct bronchodilators (melebarkan bronkus secara langsung).
Keduanya dapat menghambat inisiasi (dimulainya) reaksi asmatik yang tertunda. Untuk mengatasi asma, kromolin diresepkan dokter secara inhalasi (dihirup) atau diberikan dalam bentuk microfine powder, atau sebagai aerosolized solution.
Efek samping yang mungkin timbul adalah batuk, sensasi kering, rasa tidak nyaman, dermatitis, dan myositis.
4. Ipratropium bromide
Ipratropium adalah salah satu contoh obat dari golongan antagonis muscarinic. Ipratropium adalah bronkodilator yang dapat merelaksasikan otot-otot di sekitar saluran pernafasan sehingga mampu bernafas dengan lega. Onsetnya lambat. Ipratropium tidak bekerja secepat terapi quick-relief lainnya. Ipratropium secara umum tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mengatasi serangan akut, namun bila memang diresepkan oleh dokter, dapat digunakan bersamaan dengan albuterol.
Beberapa efek samping yang mungkin muncul antara lain: sakit kepala, vertigo, mual, muntah, mulut terasa kering, sulit buang air besar (constipation), diare (mencret), batuk, iritasi tenggorokan, dada tiba-tiba sesak, gatal, kulit kemerahan (skin rash), denyut jantung yang cepat dan tidak teratur (palpitation), irama/ritme jantung yang abnormal (misalnya: atrial fibrillation), problematika mata (nyeri mata, tekanan bola mata meningkat, pupil melebar), sulit berkemih (kencing), reaksi alergi serius (misalnya: lidah, wajah, bibir, dan mulut membengkak), anaphylaxis (reaksi alergi yang sangat berat). Jika terjadi semua ini, stop obat dan segeralah hubungi dokter terdekat.
5. Antagonis Leukotriene, misalnya: montelukast, zafirlukast, zileuton.
Ketiga obat ini dapat digunakan untuk pencegahan (prophylaxis) asma namun tidak efektif pada situasi dimana diperlukan pelebaran bronkus yang segera (immediate bronchodilation).
Efek samping yang berat yang dapat terjadi adalah: peningkatan enzim/serum hati, eosinophilic vasculitis (sindrom Churg-Strauss), sakit kepala, dispepsia (gangguan pencernaan).
Baik zafirlukast maupun zileuton adalah inhibitor (penghambat) cytochrome P450. Keduanya dapat meningkatkan kadar serum warfarin.
6. Omalizumab
Omalizumab adalah salah satu contoh dari monoclonal antibodies. Omalizumab digunakan untuk terapi asma alergi menetap yang berat pada anak-anak berusia minimal 6 tahun dan penderita dewasa. Omalizumab adalah antibodi humanized yang digunakan untuk mengurangi sensitivitas terhadap alergen inhaled, terutama di dalam pengendalian asma alergi sedang hingga berat yang tidak bereaksi dengan terapi konvensional atau kortikosteroid dosis tinggi.
Sebagai suatu recombinant DNA-derived humanized IgG1k monoclonal antibody, omalizumab secara selektif berikatan dengan free human immunoglobulin E (IgE) di dalam darah dan cairan interstitial serta membrane-bound form of IgE (mIgE) di permukaan dari mIgE-expressing B lymphocytes. Singkatnya, adalah omalizumab adalah anti-immunoglobulin E antibody.
Efek samping utama omalizumab adalah anaphylaxis (reaksi alergi sistemik yang mengancam kehidupan), dengan rerata kejadian 1 – 2 dari 1000 penderita. Karena harga obat ini relatif mahal, maka jarang sekali direkomendasikan dokter sebagai terapi utama (first-line therapy).
Yuji Oba dan Gary A Salzman (2004) menyatakan bahwa dari pharmacoeconomic standpoint, omalizumab efektif digunakan pada penderita asma alergi yang gejala-gejalanya tak terkendali meskipun dengan upaya terapi yang maksimal. Dapat menghemat biaya bila diberikan untuk penderita tidak merokok (nonsmoking patients) yang telah mondok di rumah sakit selama 5 kali atau lebih, atau selama 20 hari/lebih lama, per tahunnya.
Brusselle G, dkk (2009) berkesimpulan menurut studi PERSIST, omalizumab menunjukkan perbaikan kualitas hidup yang baik, penurunan kekambuhan/pemburukan, physician-rated effectiveness yang lebih baik dibandingkan studi efikasi terdahulu. Pada kondisi nyata (real-life), omalizumab efektif sebagai terapi add-on pada penderita persistent severe allergic asthma.
Maselli DJ, Singh H, Diaz J, Peters JI (2013) menyatakan bahwa omalizumab efektif mengurangi kunjungan di bagian UGD / IGD (emergency department), mengontrol gejala-gejala asma, dan mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid sistemik pada penderita dengan kadar IgE lebih dari 700 IU/mL dibandingkan dengan penderita dengan kadar IgE 30 – 700 IU/mL.
7. Theophylline
Theophylline adalah bronkodilator yang meredakan gangguan pernafasan pada kasus asma kronis dan menurunkan gejala-gejalanya. Theophylline diserap dengan baik oleh saluran pencernaan (gastrointestinal tract). Dulunya theophylline pernah digunakan sebagai terapi utama asma, namun dikarenakan profil efek samping yang tinggi, cakupan terapeutik yang sempit, dan berpotensi terjadinya interaksi obat, maka kini tak lagi sebagai pilihan utama untuk terapi penderita asma.
Overdosis theophylline dapat menyebabkan terjadinya kejang (seizures) dan aritmia (gangguan denyut/irama jantung atau ketidakteraturan irama jantung) yang berpotensi fatal (kematian).
Di dalam manajemen asma, yang perlu diperhatikan adalah empat komponen berikut ini:
1. Pengukuran assessment dan monitoring, yang didapatkan dokter melalui tes-tes objektif, pemeriksaan fisik, riwayat dan laporan penderita, untuk menegakkan dan menilai karakteristik dan tingkat keparahan dari asma dan untuk memonitor apakah pengendalian asma tercapai.
2. Edukasi untuk partnership di dalam perawatan asma (asthma care).
3. Pengendalian faktor-faktor lingkungan dan beragam kondisi penyerta yang dapat mempengaruhi munculnya asma.
4. Terapi farmakologis (obat).
Jadi jelaslah bahwa obat bukanlah satu-satunya cara efektif untuk mengendalikan dan mengatasi asma.
Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.
Salam sehat dan sukses selalu!
Dokter Dito Anurogo
Konsultan detik.com, dokter online, pemerhati neuroscience, hematopsikiatri, medicopomology, neurofarmacogenomik, penulis 12 buku. Saat ini mengabdi dan berkarya di neuroscience department, Brain and Circulation Institute of Indonesia (BCII), Surya University, Indonesia.
Punya pertanyaan seputar kesehatan? Silahkan klik di sini
source on:m.detik.com
Asma Kambuh Saat Malam Tapi Lemas Setelah Minum Obat, Mengapa?